Pages

21/04/16

Hello Melb, ternyata kita berjodoh (lagi)

Konon katanya, hanya keledai yang melakukan kesalahan dua kali. Untuk itu, aku dan Rima bertekad sepenuh hati kalau besok kami harus bangun sepagi mungkin, agar tidak ketinggalan bus untuk kedua kalinya. Semalam, begitu tiba di Melbourne, Ias langsung mengajak kami survey ke travel yang akan kami gunakan. (Padahal aku ga cerita sama dia kalo kami ketinggalan bus kemarin). Bukan cuma nunjukin travelnya di depan aja, tapi Ias mengajak kami untuk masuk, duduk dan bertanya kepada petugas travelnya kalau memang besok kami harus berkumpul di sana. Harusnya kemaren begitu yak. hahahaha. 


Dan paginya, kami menyusuri jalan di tengah kota Melbourne menuju travel tersebut. Untungnya semalam Ias juga udah ngasih tahu kami arah jalannya, dan untungnya kami mengingatnya. 

Jalanan masih sangat sepi dan dingin. Tram sudah beroperasi tapi aku dan Rima memilih untuk berjalan kaki. Dari kejauhan, kami melihat ada beberapa orang di depan travel tempat kami harus berkumpul. Semakin dekat, semakin familiar dengan wajah-wajah itu. Ternyata oh ternyata, Inda dan Ratih, dan Arbay, dan rombongan lainnya. 

Aku dan Rima pun cuma senyum-senyum bahagia ga jelas, padahal mereka bengong ngeliat kami. hahahaha. 

Bukan cuma satu orang yang nanya kenapa kami bisa bareng dengan rombongan Inda,  hampir semua orang di rombongan itu nanya apakah kami janjian atau tidak. Aku jawab, enggak, jalan Tuhan yang mempertemukan. krik krik krik

Kami pun bersama-sama menuju Mount Buller. satu bus. 

Riri cuma geleng-geleng, ealah mbak, aku tuh udah jawabin kalo mba aci ke Perisher. 

Aku juga bilang ke mereka, ga tau ah, aku juga ga ngerti. hahahhaha 

Manalah sempat di tengah kegalauan kemarin kepikiran untuk janjian bareng ke Mount Buller, lagian mau dikata apa, udah dari dulu bilang ga mau ikut, masa tiba-tiba bilang mau bareng. Yang ada di pikiran kemarin cuma mau lihat salju, asap. 

Di komen foto-foto salju yang langsung aku post juga, ada teman yang komen: akhirnya sampai juga ke Perisher!  

lol. 

Ah, Perisher, sama seperti Perth, tempat yang aku rencanakan tapi Tuhan punya kehendak lain dengan rencanaNya yang memang selalu lebih indah. amin. 

Aha moment

Bangun sudah sangat siang, aku dan Rima hari itu seperti sudah tidak ada semangat. Mau mengitari Sydney lagi sepertinya sudah nggak semangat. Karena hari sebelumnya kami sudah seharian mengitari Sydney. Dari pagi berfoto-foto ala ratu dari Cina di Chinese Garden of Friendhsip sampai matahari tenggelam kami habiskan dengan duduk-duduk cantik di tepi Opera House bersama Mbak Fira.  

Siang itu kami cuma di tempat tidur browsing-browsing cari tiket lagi ke Perisher atau kemungkinan lain kemana. Tapi karena tujuanku benar-benar cuma mau lihat salju, sepertinya nggak kepengen juga ke tempat lain. Sedih rasanya kalo sampe nggak jadi ke Perisher, kapan lagi mau lihat salju di Ostrali kalo nggak sekarang. Bulan depan udah balik ke Indonesia. Winter tahun lalu ketika ke Melbourne aku nggak kepengen ke Mount Buller, cuma pengen muter-muter di city. Menikmati bangunan-bangunan tua di kota cantik itu (iya aku akui Melbourne memang cantik).

Setalah browsing-browing, ternyata bus ke Perisher cuma ada setiap weekend. Hiks. Dan harus dipesan jauh-jauh hari. Apalagi sedang musim salju seperti ini, pasti sudah cepat penuh. Tidak seperti di Mount Buller, yang ada setiap hari dan bisa di pesan malamnya. 

Ahaaaa

kenapa nggak ke Mount Buller aja?

Aku pun langsung nanya-nanya kemungkinan pergi ke Mount Buller dengan beberapa teman yang sudah pernah ke sana. Cek-cek tiket pesawat dan berhubung di Melb ada Ias, aku langsung ngontak dia dengan randomnya. Tapi Ias bilang nggak usah, nggak usah ke melb, mahal. 

Tapi alih-alih menuruti sarannya. Sorenya, aku langsung mengabari Ias kalo tiket udah di pesan dan besok sore kami tiba di Melbourne.  


Bersambung ke sini
Cerita sebelumnya: di sini

18/04/16

Perkara pukul 1 dini hari: salah satu rangkaian cerita Sydney Melbourne Trip

Dengan langkah jauh dari gontai kami menyusuri jalan menuju meeting point bus yang benar dengan bimbingan GPS. Lesson learned yang bisa kami ambil adalah jangan terlalu yakin akan keberadaan meeting point bus di tempat yang sudah kami yakini sepenuh hati sebelum bertanya dengan petugas travel yang ada di situ. Walaupun berada di jalan yang sama dan ada tulisan besar-besar akan nama perusahaan bus malam yang sama dengan tiket yang kami pesan, kami harus mengecek lagi ke petugas yang ada di sana untuk memastikan bahwa memang di situ tempatnya besok dini hari kami harus menunggu bus. 

Dengan tergopoh-gopoh kami menyusuri jalan di tengah kota Sydney yang sama sekali asing bagi kami. Dari kejauhan kami melihat bus yang kami kira merupakan bus kami. Dengan setengah menyerah kami sudah rela kalau memang bus tersebut meninggalkan kami karena memang sudah lewat dari waktu yang dijadwalkan. Pasrah. 

Lalu kami sampai di depan ruko meeting point yang seharusnya. Tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa di sana kecuali seorang pria sepantaran yang juga celingukan mencari kejelasan keberangkatan. Dia menyebut nama daerah yang kami kira satu tujuan dengan kami. Dia bilang kalau dia di kabari kalo meeting pointnya di sebelah sana. Kami pun malah ngikutin dia, kali aja masih ada secercah harapan untuk diangkut ke Canberra.

Kami sampai ke tepian jalan tempat banyak bus ngetem juga. Sang cowok itu dengan sigap menyetop salah satu bus. Si cowok ini dengan senangnya naik bus yang dia tunggu-tunggu. Dia menoleh ke arah kami seolah mau mengajak kami naik juga. Kami cuma menatapnya dengan tatapan tak bersemangat sambil melambaikan tangan, byeeee.. mungkin si cowok bingung kenapa kami ga ikut dia naik. Ternyata dia mau ke daerah lain, entah apa nama daerahnya, yang jelas berbeda dengan kami.  

Aku dan rima kemudian kembali berjalan ke arah hostel. Di tengah keheningan kota Sydney yang dingin, Rima kemudian bertanya akan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. 

"Eh kak, sekarang tanggal berapa sih?"

Aku berfikir... mengingat tanggal berapa sekarang.

Dan.. ow ow.

Oh my God, ternyata kita salah tanggal. Harusnya kami sudah berangkat ke Canberra kemarin malam. Bukan malam ini. Pukul 1 dini hari berarti pukul 1 hari itu, bukan malamnya. Kalau malamnya udah masuk tanggal berikutnya.

Menyadari kekeliruan ini kami pun kembali ke hostel. Penuh lesu. Capek. Ga tau harus ngapain. Tapi entah kenapa aku malah senang karena bisa tidur lagi.

*****
Bersambung ke sini

Cerita sebelumnya di sini

05/04/16

Tentang Melbourne: Unplanned beautiful journey: Cerita Pertama Sydney Melbourne Trip

Malam itu pukul setengah 12 malam, aku dan Rima tergesa meninggalkan hostel di tengah kota Sydney menuju meeting point bus malam yang akan mengantarkan kami ke Canberra. Sangat berat langkah kami, begitu juga mata yang masih ingin tidur lelap. Kami berpapasan dengan muda mudi Sydney yang berdandan kece untuk pergi ke club. Pemandangan yang tidak asing bagi kami, karena biasanya kami memandangi pemandangan seperti ini dari atas ruangan di kampus atau ketika pulang hampir tengah malam setelah mengerjakan tugas yang seperti tiada akhirnya. ah ya, ini sudah liburan, lupakan sejenak tugas-tugas cantik itu. Dan kami akan menuju kota yang kami pun tidak tahu persis letaknya di mana. Untuk melihat salju untuk pertama kalinya.

Rencana liburan ini sudah tentu kami rencakan jauh-jauh hari, bahkan sebelum semua tugas kami kumpulkan. Dari pertengahan semester Inda sudah mengemukakan rencana liburan ke Melbourne bersama rombongannya. Aku pun salah satu yang rencananya akan diikut sertakan. Sudah dari setahun yang lalu kami memang pernah punya rencana untuk liburan bersama. Inda yang memang sudah kenal baik dengan kota Melbourne mengajak aku dan teman yang lain untuk tour di kota itu. Tapi berhubung kesibukan kami masing-masing rencana itu belum juga terwujud. Terlebih lagi pertangahan tahun lalu Inda sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya. Dan sekarang, Inda mengajak kami lagi untuk tur ke Melbourne di musim dingin tahun ini, menikmati salju di Mount Buller.

Mendengar tawaran Inda membuat aku tidak langsung mengiyakan, padahal Riri sudah pasti mau ikut. Entah kenapa waktu itu aku butuh waktu sedikit lama untuk mengiyakannya. Pertimbangan pertama karena musim dingin tahun lalu aku sudah ke Melbourne, dan Melbourne bukan merupakan kota yang ingin aku kunjungi dua kali dalam masa studi masterku ini. Aku lebih jatuh cinta dengan Sydney, dan lebih memilih untuk datang ke Sydney lagi daripada ke Melbourne.

Aku membulatkan tekad untuk ke Sydney lagi, entah dengan siapa. Perjalanan medio semester kedua lalu ke kota itu sangat berkesan untukku. Kota yang cerah, cantik dan ramah. Hiruk pikuk yang menyenangkan, karena memang Sydney kota tujuan wisata. Tidak seperti ketika aku mengunjungi Melbourne yang kelabu. Sebenarnya sih karena faktor musim juga. Aku ke Melbourne di saat musim dingin, dan Sydney ketika musim hampir memasuki musim semi. Masih musim dingin sebeneranya, tapi musim dingin yang sudah mulai memudar. Ah, pantas saja. Musim semi adalah juga musim ku. Jika kebanyakan orang sangat memuja musim gugur, aku adalah pengagum musim semi.

Aku sudah pernah mengajak Rima untuk ke Sydney lagi. Tapi Rima menolak dengan alasan sudah pernah ke sana. Aku nggak ada ide lagi untuk mengajak siapa. Tapi aku sudah mantap untuk tidak ikut rombongan Mount Buller yang Inda kordinir.

Di suatu hari yang random, aku dan Rima sudah membeli tiket PP Adelaide Sydney. Dalam sekejap, kami sudah siap untuk melakukan perjalanan Adl-Sydney-Canberra-Sydney-Adl. Tiket PP Sydney Canberra pun sudah dibeli. Tak usah dipertanyakan tingkat kerandoman kami, ya begitu lah adanya.

Perisher, sebuah pegununungan di antara Canberra dan Sydney adalah tujuan kami untuk melihat salju. Setelah browsing sana sini akhirnya kami bulat mengunjungi pegunungan ini, agak berbeda dengan tujuan teman kebanyakan yang memilih mount buller di Melbourne.  Dan aku pun sudah mengumumkan kepada siapa saja yang bertanya padaku kemana rencana liburan nanti atau kenapa tidak ikut dengan Inda, karena Riri dan Ratih saja ikut, bahwa aku akan ke Perisher. Riri pun sudah aku kasih tau nama tempat itu, jikalau ia juga ditanya dengan pertanyaan serupa. Pe-ri-sher. Jangan lupa, Perisher.

Yak, hingga akhirnya hari itu tiba. Kami harus bergegas ke meeting point bus malam itu. Siangnya kami juga sudah survey tempat busnya yang ternyata dekat dengan penginapan kami. Dan ternyata, bus yang kami tunggu tidak datang juga. Dan, kami menyadari ternyata meeting pointnya bukan di situ.


*bersambung ke sini

akhirnya Jepang, untuk pertama kalinya

Sebagai anak yang tumbuh besar dengan banyak pengaruh komik-komik, kartun-kartun, dan drama dari Negeri Sakura itu, mengujungi Jepang merupakan salah satu cita-citaku sejak kecil. Mungkin dulu aku belum mengenal Australia, Eropa atau bahkan Afrika, tapi aku sudah sangat (merasa sok) akrab dengan Jepang. Tapi aku juga bukan anak yang tergila-gila seperti beberapa temanku yang lain. Yang sampai membawa bekal makanan ala orang Jepang, rajin mengunjungi festival Jepang, berdandan ala band Jepang atau bahkan mengambil kursus bahasa atau kuliah sastra Jepang.  Aku hanya pengagum yang sederhana (apalah).

Pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, yang aku pikirkan, kalau semua yang aku lihat di film-film sama. Bahagia sekali rasanya akhirnya bisa melihat negeri yang aku sering bayangkan di waktu kecil secara nyata. Tidur di balik selimut tebal seperti milik doraemon. Berjalan melihat orang lalu lalang dengan sepeda. Melihat segerombolan anak berseragam menuju sekolah. Percis seperti di film-film. hahaha. no rak yak.

Jepang menurutku negara yang sangat maju dan juga kaya dengan kebudayaannya, jadi seperti seimbang. Orang-orang yang super ramah, sejauh itu sih yang aku temui orang-orang ramah, alhamdulillah. Selain itu aku juga merasakan kebudayaan Asia yang sudah lama nggak aku rasain. Hampir setahun tinggal di negara berkebudayaan barat, membuatku lama nggak ngerasain yang asia-asia. Terdengar lebay yes, but it's true. Pertama kali mencoba masakannya, sepertinya lidah langsung familiar dengan rasa masakan seperti itu. Spicy dan rempahnya terasa. Seperti itulah makanan-makanan Asia yang aku rindukan. Walaupun aku suka masak dan makan makanan di Asian resto, tapi tetep aja beda. Selain itu, toilet yang ada airnya, ahaaaa. Merasakan kemudahan setelah sekian abad, ga perlu repot-repot bawa botol untuk mengisi air atau tisu basah. Kemudahan kecil itu terasa begitu nikmat, hahaha. 


Begitu tiba di airport kami langsung menyewa modem. Aku bukan pencatat yang baik tentang printilan selama travelling. Aku lupa berapa biayanya. Tujuan berikutnya adalah naik kereta menuju Sakai, tempat kami menginap. 

Sekitar jam setengah sebelas malam jalanan di Jepang masih lumayan ramai. Nggak ramai-ramai banget seperti di Jakarta, tapi juga tidak sepi senyap seperti di Adelaide. Beberapa orang lalu lalang dengan sepedanya. Bar-bar di sudut jalan juga ramai dengan orang-orang pulang kerja. Ah, I love it. 

Kami mengetuk pintu hostel yang sudah kami pesan itu. Sang penjaga seperti baru bangun tidur dan dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Ia membantuku mengangkat koper ke lantai dua tempat kamar kami. Penginapan yang kecil, rapi dan nuansa Jepangnya masih dapet banget. Bersih banget sudah pasti. 

Aku langsung tidur karena besok kami harus ke tempat conference pagi-pagi. Ya, kami ke sana untuk conference. Sekalian liburan tentunya!


*to be continued

Cerita Sebelumnya


Depok, 5/4/2016
Dalam rangka mengenang perjalanan setahun yang lalu