Perjalanan
ini merupakan perjalanan pertama bagi kami bertiga ke Kuala Lumpur dan Hat Yai.
Setelah mengumpulkan banyak informasi dari berbagai blog, kami tetap ingin
mencoba perjalanan ini, ke Hat Yai melalui jalur darat, setelah malam
sebelumnya pun juga sama. Dari Singapura ke Kuala Lumpur dengan kereta. Hat Yai merupakan nama kota yang terletak di Thailand bagian selatan terletak di dekat perbatasan Malaysia. Dengan memiliki jumlah penduduk sebanyak
155.805 jiwa (2005) di daerah kota dan di daerah metropolitan
berjumlah 700.000 jiwa, terletak di Provinsi
Songkhla (http://id.wikipedia.org/wiki/Hat_Yai
diakses tanggal 27 april 2012).
Begitu
sampai di KL Sentral, kami langsung mencari shower
room dan loker untuk menitipkan barang bawaan kami. Karena kami rasa, agak
sedikit kewalahan membawa ransel yang tidak ringan ini sampai ke Hat Yai nanti.
Kami berjalan menuju loket penjualan tiket. Dan ternyata kami kehabisan tiket
kereta Kuala Lumpur Hatyai dai KL Sentral. Namun kami tak patah semangat. Kami
mencari tiket ke Hat Yai dari terminal Pudu Raya. Terminal Pudu Raya tidak
begitu jauh dari KL Sentral, hanya perlu naik LRT seharga 1 RM, turun di pasar
seni kemudian berjalan kaki. Harga tiket di bis memang sedikit lebih mahal
dibandingkan dengan tiket kereta. Tiket kereta seharga 35 RM sedangkan bis 50
RM. Jadwal keberangkatan bis yaitu pukul 10.15 malam. Setelah cukup tenang
karena mendapatkan tiket bis nanti malam, kami melanjutkan perjalanan ke menara
petronas untuk mengisi waktu sampai malam keberangkatan bis malam nanti.
***
Kami
berhenti di pemberhentian bis kedua, setelah yang pertama kami melewatinya.
Saya terbangun sebenarnya saat bis berhenti pertama kalinya. Tapi, kantuk yang tak tertahankan membuat saya malas
untuk sekedar menggerakkan tubuh. Sekali saya menoleh ke kursi sebelah, Emy dan
Indy tidur dengan lelap. Sedikit ada
rasa takut menggelayut karena kedua teman saya tertidur, daripada tidak tidur hanya bengong-bengong
dan malah bikin galau, saya pun tidur lagi.
Di
pemberhentian kedua ini kami duduk-duduk di kursi. Banyak orang mengantre di
loket penukaran uang. Saya dan Emy sudah siap-siap ambil air wudhu agar nanti
di bis bisa melaksanakan sholat subuh. Jam sudah menunjuk pukul setengah lima,
tapi kami tidak yakin itu sudah masuk waktu subuh. Jadi kami tidak sholat di
mushola yang tersedia di pemberhentian tersebut, lagipula kami takut
ketinggalan rombongan. Bis berhenti agak lama. Emy yang agak sigap kesana kemari
beberapa kali bertanya dengan penumpang lainnya. Satu hal yang kami agak cemas,
paspor kami diminta saat turun bis tadi
oleh abang kondektur bis. Ternyata paspor dikembalikan kemudian dengan sudah
diselipkan lembar imigrasi dan sudah diisi pula sebagian datanya.
Tak
lama kemudian bis berjalan melanjutkan perjalanan. Kemudian kami tiba di
imigrasi. Ketika berbaris rapi mengantre di loket imigrasi, sepasang anak muda
asal Malaysia mengajak kami mengobrol. Mereka ingin liburan 2 hari di Thailand.
Ternyata bukan bahasa Inggris saja yang sulit dimengerti, di mana saya sering
meminta lawan bicara mengulang ucapannya. Dengan bahasa melayu pun demikian.
Sang pria menanyakan apakah saya sedang belajar di Malaysia. Berkali-kali saya
memastikan, apa? Belanja? Hah? Kemudian menjadi jelas setelah mereka menyebut
kata study. Hooooo. Saya bilang sudah
kerja, dan mereka sedikit terkejut mengetahui umur saya lebih tua 2 tahun dari
mereka.
Sedangkan
Emy di depan saya sibuk bercakap-cakap dengan seorang bule yang belakangan saya ketahui namanya Ashton dan ternyata
bukan bule. Bahasa inggrisnya sangat lancar dan aksennya jauh dari aksen melayu.
Secara fisik mirip bule, tapi kalau Emy dan Indy bilang seperti India yang
berkulit putih. Ternyata dia adalah orang Malaysia yang tinggal di Australia.
Kami masuk bis kembali, Emy dan Ashton masih bercakap-cakap
Emy
membangunkan saya, ternyata sudah sampai di tujuan. Kami bersiap turun dari
bis. Ashton sedikit berpesan kepada Emy, entah apa. Ternyata Ashton bilang just ignore the people. Kami disarankan
untuk segera masuk ke Davis Travel dan membeli tiket bis kembali ke Kuala
Lumpur untuk malam ini. Emy berpesan kepada saya dan Indy: “jangan pada
bengong-bengong ya, langsung masuk ke travel itu”. Saya dan Indy pun mengangguk
sambil menyetel muka tidak bengong.
Sampai
di travel kami langsung memesan tiket kembali ke Kuala Lumpur seharga 400 bath
atau 40 ringgit. Travel ini juga menerima pembayaran dalam bentuk ringgit. Kami
membayar 50 ringgit kemudian dikembalikan 100 bath. Alhamdulillah, itung-itung
nambah bekal kami yang hanya sedikit. Dengan percaya diri yang tinggi kami
hanya membawa 300 bath dari Kuala Lumpur, atau sekitar 90 ribu kalau
dirupiahkan.
Kemudahan
berikutnya datang, ternyata di travel ini tersedia kamar mandi untuk mandi.
Setelah bertanya kepada seorang eceu di travel itu, dia mempersilahkan, you can take a shower at our office.
Kami bertiga langsung mandi bergantian.
Untungnya seorang eceu di travel ini sedikit-sedikit bisa bahasa
inggris, ya hanya sedikit kosa kata yang ia ketahui. Dua Eceu lainnya tidak bisa.
Mereka pun sangat ramah kepada para
pengguna travel. Kami pun memanfaatkannya dengan mandi, isi botol minum, bikin
susu, dan numpang duduk-duduk sambil nonton tv.
Setelah
rapi berdandan tujuan kami adalah mencari mini market untuk sekedar mencari air
mineral dan ada satu barang yang Indy butuhkan. Kami melewati pasar tradisional
yang menjual beraneka ragam barang. Dan untungnya mini market yang kami cari
ada di situ. Setelah membeli barang yang kami cari, saya dan Indy keluar
duluan. Emy masih di dalam, entah apa lagi yang dicarinya. Tak lama kemudian
kami dipanggil Emy dari dalam, WOY! MASUK!. Kami pun masuk lagi ke dalam mini
market. Ternyata Emy habis bertanya kepada akang penjaga kasir berapa harga air
panas, dan si akang bilang free,
sebuah kata yang membuat hati kami berbunga-bunga. Kami langsung mengeluarkan bekal pop mie dari
dalam tas. Bahkan saya bikin 2 karena pop mie yang saya bawa ukuran mini.
Dengan apik dan cantik kami menyeduh pop mie kemudian lenggang kangkung keluar
mini market.
Berikutnya
kami mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan makanan ini. Dan kami pun
menemukan emperan toko yang belum buka. Baiklah, di sini tempatnya.
Setelah pop
mie habis kami kembali ke travel karena masih belum tahu tujuan. Sebenarnya mau
seharian di travel ini nggak apa-apa sambil nunggu bis kembali ke KL nanti
malam, numpang tidur guling-guling juga nggak masalah. Yang penting kan sudah
sampai Thailand. Sudah ada stempel Negara Thailand mewarnai paspor kami. Tapi
kami nggak mau demikian. Walaupun hanya sehari di Hatya, kami ingin
memaksimalkannya dengan foto-foto sebanyak mungkin, biar gayak.
Setelah
duduk di travel sebentar, kami beranjak lagi untuk mencari tuctuc. Kami berniat
menyewa tuctuc seharian biar nggak repot. Tuctuc merupakan kendaraan umum yang
banyak ditemui di Thailand. Bentuknya seperti bemo di Jakarta. Akirnya kami
bertemu dengan abang tukang tuctuc yang lewat. Di sini komunikasi mulai
tersendat. Si abang nggak bisa bahasa inggris dan membaca tulisan latin. Kami juga
nggak bisa bahasa Arab, Spanyol dan Perancis. Dan kami tetap mengusahakan
menggunakan bahasa inggris seadanya sesederhana mungkin agar si abang paham, karena
emang juga bisanya bahasa inggris level pre basic. Dan si abang hanya
melongo dan sedikit-sedikit membalas dengan bahasa Thailand. Akhirnya ada
seseorang yang berdiri di dekat tuctuc membantu kami. Orang tersebut bisa
sedikit bahasa Melayu, Inggris dan Thailand. Sehingga ia bisa kami jadikan
mediator. Kami juga menggunakan alat tulis, pensil dan kertas untuk memperjelas
maksud kami. Akhirnya deal juga
dengan harga sewa yang disepakati dan 3 tujuan wisata. Tuctuc berjalan.
Tujuan
utama kami adalah patung budha tidur. Letaknya tidak begitu jauh. Hanya
sebentar perjalanan kami sudah sampai tujuan. Seperti biasa, begitu sampai kami
langsung foto-foto. Sedang asik foto-foto tiba-tiba bunyi suara ledakan
membahana. Kami sebenarnya ingin langsung naik ke tuctuc dan menyuruh abang tuctuc
ngebut seperti iklan motor komeng meninggalkan area ini. Tapi orang-orang lain stay calm tenang-tenang saja. Menganggap
bunyi ledakan barusan sudah mahfum dan biasa. Kami pun ikutan stay cool dan mulai beradaptasi dengan hal tersebut.
Kami melanjutkan lagi foto-foto. Sang abang tuctuc berinisiatif membantu kami
mengambil gambar karena mungkin kasihan melihat kami sibuk mengatur kamera agar
bisa foro bertiga. Yah walaupun hasilnya nggak bagus-bagus banget kami
menghargai sifat mulia abang tuctuc.
Tak
lama kemudian ada lagi bunyi petasan membahana di area tersebut. Kami mulai merasa
tak nyaman, kemudian kami benar-benar ingin meninggalkan tempat itu. Setelah
foto di tuktuk, kami pun melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Tujuan
kami berikutnya yaitu Mermaid Beach. Pantai yang ditepinya terdapat patung
puteri duyung. Ternyata lokasinya lumayan jauh, jauh banget. Alamakjan...
Beberapa
jam kemudian tiba juga di pantai yang termahsyur itu. Hamparan laut dengan
ombak yang sedang-sedang saja terbentang di hadapan kami. Pantainya tidak
terlalu ramai. Hanya saja banyak yang mengantri untuk foto di patung putri duyung yang berdiri kokoh di tepi pantai itu.
Kami
pun ikut mengantre dengan sigap agar bisa foto dengan sang putrid duyung.
Setelah beberapa kalai take, dan
mendapat gambar yang kami rasa bagus kami pun menjauhi patung tersebut untuk
mencari tempat yang lebih sepi. Setelah mendapat tempat yang pas untuk
foto-foto, kami pun mulai berfoto dengan berbagai gaya.
Ya benar, berbagai
gaya. Beberapa orang yang duduk-duduk tersenyum-senyum simpul memperhatikan
kami bertiga yang hoboh sendiri.
Setelah
kelelahan karena beberapa kali kami mengambil foto loncat, kami pun berniat
menyudahi saja sesi foto-foto tersebut. Kami berjalan menuju tuctuc yang setia
menunggu. Si abang sedang asik ngobrol dengan salah seorang di sana. Kami
menggambar masjid dan menirukan gaya sholat kepada abang tuktuk, dan dia paham
kalau kami minta diantarkan ke masjid. Si abang bertanya kepada beberapa orang
di dekat sana di mana letak masjid terdekat. Akhirnya kami diantarkan ke masjid
terdekat. Saat kami sholat juga terdapat rombongan keluarga yang sepertinya
berasal dari Malaysia yang juga melancong ke Hatyai.
Si
indy yang sedang tidak sholat asik mengobrol dengan abang tuctuc ketika saya
dan Emy kembali dari Masjid. Entah apa yang mereka bicarakan terlihat seru
sekali, entah menggunakan bahasa apa. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Ternyata
jalan yang kami tempuh cukup jauh. Jalanan seperti jalan tol di Jakarta, dan
saya tidak menemukan tuctuc di jalan itu kecuali tuctuc yang kami tumpangi. Mulailah
kami bercerita yang aneh-aneh. “Sepi banget ya....”Ucap saya mulai waswas.
“Iya
di sini kan kata di buku, banyak terjadi tindak kriminal dan penembakan.” Ucap
Indy
Bulu
kuduk saya merinding. Saya pun cepat-cepat membuka buku yang Indy bawa untuk
mencari informasi mengenai kota ini. Benar saja, di buku itu dideskripsikan
demikian. Saya mulai menenangkan diri dan berpikir positif saja.
“Tadi
abangnya juga bulang, baru aja ada bom”
“Heeeeee? Serius?”
“Iya
tadi bilang, hatyai... boooom.. hat yai... boom...” Ucap Indy menirukan gaya si
abang tuctuc.
Dan
kemudian mobil ambulance lewat menyalip tuctuc kami. Dan kami pun hanya
berpandang-pandangan dengan berusaha berpositif thinking dan banyak-banyak
berdoa. Di situ minat untuk mengunjungi satu tempat wisata lagi sudah menurun.
Rasanya pengen cepet-cepet kembali ke hotel, ngga nginp di hotel juga
padahal. Di tengah perjalanan si abang menghentikan tuktuknya. Ia ingin
membeli air minum. Sang abang ternyata baik banget, kami bertiga dibelikan
sebotol air mineral masing-masing. Botolnya unik, seperti botol infus. Tadinya
kami sempat ragu, air apaan inih.
Ternyata
jalan yang kami lalui di blok tidak bisa lewat karena ada suatu insiden yang
kami belum tahu. Kalau dari dugaan sementara sepertinya bom. Kemudian sang
abang menjadikan alasan tersebut untuk tidak mengantarkan kami ke tujuan wisata
berikutnya. Bisa banget ni si abang nyari alesan. Yasudahlah, hari juga semakin
sore dan kami sudah tidak semangat lagi untuk jalan-jalan. Sang abang
mengantarkan kami kembali ke Davis travel. Setelah membayar, kami turun tuctuc
dan masuk ke travel. Di dalam travel
kami baru menyadari ternyata handuknya Indy ketinggalan di tuctuc. Tadi kami
memang sengaja menjemur handuk kami di tuktuk agar kering.
Emy
bertanya kepada Mr. Davis sang pemilik travel mengenai insiden yang baru saja
terjadi. Di televisi juga ditayangkan tayangan langsung berita mengenai insiden
tersebut. Banyak korban yang dilarikan ke rumah sakit dan orang-orang terlihat
panik. Tapi karena bahasanya kami tidak paham, jadi kami belum tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Dari penjelasan Mr. Davis kami akhirnya mengetahui bahwa
insiden tersebut adalah terjadi ledakan kompor gas di sebuah restoran cepat
saji yang letaknya tidak jauh dari travel tersebut. Mr. Davis pun sibuk
mengabarkan koleganya di Malaysia memberikan penjelasan bahwa yang baru saja
terjadi adalah kecelekaan bukan bom atau terorisme. Kami sedikit tenang.
Sambil
menunggu waktu keberangkatan ke Kuala Lumpur yang masih beberapa jam. Kami
lakukan dengan, mengumpulkan uang sisa-sisa bath yang ternyata udah nggak ada
sisanya sama sekali. Akhirnya kami menukarkan lagi beberapa bath untuk membeli
sekedar kenang-kenangan dari Thailand. Kami membeli dompet-dompetan. Setelah
itu kami sibuk membuat video sendiri dengan HP Indy, bercerita pengalaman
seharian ini di Hatyai. Lumayan bikin ketawa-ketawa. Bisnya sudah datang tapi
masih belum berangkat. Beberapa lama kemudian ada seseorang yang masuk ke
travel tersebut dan menyapa Emy, ternyata Ashton. Wow, sayang sekali dia datang
di waktu yang kurang tepat, kami harus segera kembali ke Kuala Lumpur. Pede banget
dicariin Ashton, orang dia mau beli tiket ke Phuket.
Bis
berangkat juga ke Kuala Lumpur pada pukul 19.00 waktu Thailand. Kami pun
bermalam di bis, tidur dengan nyenyak sekali.
“Travel is more than the seeing of sights; it is
a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” – Miriam
Beard