Pages

31/01/17

When in Kuala Lumpur




About two weeks ago I did a super sweet escape to Kuala Lumpur with my 5 friends. It was a planned trip. We bought the airplane tickets about six months ago randomly as we got super cheap return tickets. At first, we planned to go to Melacca as well, but then we decided just to enjoy Kuala Lumpur in those three days.

Where we stay
As it was my second visit to KL, I pretty know the city, at least I know KL sentral. Lol. I decided to choose hotel close to KL sentral because it would make us easier to go anywhere. Having searched on travelling sites, we choose Hotel Sentral. The hotel is just 5 minutes walk to KL sentral. I's really recommended hotel to stay if you plan to stay in KL. The room is quite good, clean, tidy and we got a connecting room. We like it.


How we travel around the city
We buy touch and go card in touch and go counter in Nu Sentral. It's really easy to use public transport using this card.


Where we go and how to go there 
Batu Caves: by Commuter
Petronas Tower: by LRT
Dataran Merdeka: by LRT
National Library of Malaysia: by Monorail then bus (402)
Central Market: byLRT
Petaling Street: by LRT
Bukit Bintang: by Monorail

Please kindly visit my steller to see pictures I took on my KL trip.

Tips to go to KL :
If you travel in a group, I recommend you to use online taxi. But make sure you have Malaysian mobile number. We didn't buy Malaysian sim card because we think we are just too lazy lol, but we were happy because we felt the sensation of no wifi or internet connection except in the hotel on our trip. So we enjoyed asking people to go to the destination and communicating through memo left on the table in the hotel room. I love KL because it just like my city, but I found some brands that I didn't found here. I eat at Nandos and Paparich, two my favorite restaurants when I lived in Adelaide. So far, for me, KL is still a good place to do a sweet short escape at the weekend, wanna go there again someday, let's find another cheap return tickets!

18/01/17

Memandang sama

Sering kita mendengar, "udah gampang, cuma seribu ini".

atau, "yaelah cuma gopek".


Mungkin kita nggak sengaja menganggap remeh nilai uang kecil itu. Termasuk aku, dulu pernah tersenyum heran ketika temanku bilang, "uang ini nanti akan buat beli rumah" ketika kami baru nerima honor yang jumlahnya beberapa lembar ratusan ribu, mungkin dua atau tiga lembar. "loh, iya lho...justru dari uang yang sedikit-sedikit ini, nanti akan banyak berkahnya, dan bisa untuk beli rumah" Lanjut temanku yang padahal mantan seorang pegawai swasta yang mungkin sekali terima honor bisa berpuluh-puluh lembar uang ratusan ribu. Waktu itu aku masih jadi pegawai baru. hmmm, okey.

Di lain waktu, seorang ibu yang juga rekan kerja pernah bilang, "jangan anggap remeh uang receh, sekali kita ada di posisi nggak ada uang, untuk mendapat uang receh itu juga nggak mudah"

hmm.. okey.

Poinnya, mungkin bukan berarti setiap orang yang memperhitungkan uang receh adalah orang pelit, tapi menghargai setiap nilai uang, karena ada jerih payah di balik setiap nilainya. Mari kita belajar menghargai berapa pun nilai mata uang yang kita punya, mau seratus, dua ratus, seratus ribu, kita pandang sama.


Catatan super random about life

15/01/17

Jalan-Jalan ke Dieng

Pertengahan bulan Agustus tahun lalu, saya dan adik perempuan melancong ke Dieng. Seperti biasa, rencana random yang baru direncanakan seminggu sebelumnya. Setelah dipertimbangkan, ternyata memang cuma hari itu kami bisa pergi dalam waktu dekat. Berhubung si adik sudah masuk kuliah di minggu berikutnya.


Kami ke Dieng dengan mengeteng. Awalnya kami naik kereta dari Stasiun Senen pukul sembilan malam, lalu turun di Purwekerto. Sampai di Stasiun Purwokerto kami naik angkot ke Terminal Purwokerto. Dari sana, kami mencari bus jurusan Wonosobo. Dari Wonosobo kami cari bus lagi yang jurusan ke Dieng. Yang agak lama di sini, karena kami harus nunggu busnya sampai ada barengan penumpangnya. Dan akhinya pukul setengah 4 sore kami sampai juga di Dieng. Lama banget perjalanannya. hahaha. Dan semuanya adalah transport ala ekonomi. Gara-gara pengen jadi sok-sok backpacker murni yang anti kemewahan haha, dengan pedenya kita ngeteng ke Dieng berdua doang. Di tengah perjalanan nyesel? enggak sih, cuma kaya buat deklarasi pribadi nggak mao lagi. hahahaha. Di tengah jalan dari mulai mau ganti haluan, mau turun aja ga tau di mana, sampe mau pulang lagi. Tapi at the end, we survive yeah.. 


Sampai di Dieng kami menuju penginapan yang sudah kami booking ketika di terminal Wonosobo. Haha, saking randomnya kami baru booking penginapan pas di bus. Dikasih tau sama mas-mas penginapan nanti kami turun di mana. Sumpah deh itu random banget. Sampai di penginapan kirain yah udah lelah langsung mau bobok cantik aja dengan udara dieng yang dingin sejuk menenangkan. Ternyata enggak, kami berdua malah kaya seger banget untuk mengitari Dieng. Di mulai dari ke Candi yang di dekat penginapan, cari makanan enak, dan berselfie di depan tulisan Dieng di pinggir jalan yang tersohor itu.

Ketika lagi makan malam di wisma Bu Djono, kami nanya ke mas yang jaga kasir, kalo mau cari ojek untuk ke Puncak Sikunir gimana caranya. Eh pas banget. Ternyata mas tersebut adalah guide yang bersedia mengantar dengan motornya, dan ada temannya satu lagi juga. Jadi kami janjian untuk berangkat besok pagi dini hari sekitar jam 3 untuk naik ke puncak Sikunir.

Pagi dini hari aku dan adik udah ready di pinggir jalan menunggu sang guide datang. Langsung deh kita cus ke atas puncak. Naik motor jam 3 pagi ke puncak bukit, dinginnnnn bangeettttt. Tapi seru. Untuk naik ke bukitnya kita mesti jalan juga lumayan ngos-ngosan. Kala itu abis off ngga olah raga setelah lebaran, jadi lumayan belom ada persiapan untuk jalan kaki jauh menanjak gitu. Tapi akhirnya sampai juga di puncak bukit. Sayangnya, sang mentari ngumpet di balik awan, huhu jadi kami nggak dapet sunrise. Nggak apa-apa deh.

Perjalanan dilanjutkan dengan turun gunung menuju Bukit Ratapan Angin. Sampai di sini kami harus bersabar lagi menunggu sang kabut hilang. Alhamdulillah setelah ditunggu lumayan lama, sang kabut pun hilang begitu saja sehingga kami bisa berfoto dengan background pemandangan yang menakjubkan.

Habis dari bukit ratapan angin, kita lanjutkan ke telaga warna. Di sini enak deh, suasananya tenang banget. Habis dari telaga warna kami ke Candi yang di dekat penginapan lagi.

Habis itu, waktu dihabiskan dengan tidur siang di penginapan yang dingin banget pakai AC alami, makan di sekitar penginapan, dan esok paginya kami kembali ke Jakarta dengan menggunakan bus dan kereta lagi.

Alhamdulillah, perjalanan ke Dieng sangat menyenangkan.

Tips untuk ke Dieng:
1. Usahakan pergi berlima atau berenam, jadi bisa sewa mobil dan gampang kemana-mananya.
2. Sewa mobil dari purwokerto ke Dieng atau dari Jogja ke dieng Jadi nggak turun naik angkot dan bus.
3. Pilih waktu di saat bukan musim hujan agar sukses bertemu dengan sunrise.

Sekian ceritanya, semoga bermanfaat. Berikut beberapa fotonya, some photos taken by mas Kiki sang guide (IG: @kiki_dieng.id)









by @kiki_dieng

12/01/17

Musim Panas Waktu Itu

Adelaide, Mid January 2014.


Suhu udara kala itu sungguh tinggi, musim panas tengah mencapai puncaknya menurut prakiraan cuaca. Aku baru saja memindahkan koper dari kamarku sebelumnya ke kamar yang saat itu aku tempati. Entah kenapa, aku mendapat kamar yang sungguh berantakan, dan dengan beberapa orang laki-laki dari negara lain di kamar tersebut. Nggak sekamar sih, tapi satu dapur dan common room, kami punya kamar dan kamar mandi masing-masing.  Seorang staf tengah mengganti seprai kamar yang akan aku tinggali. Ruangannya pun seperti harus disapu dan dipel dulu. Aku lumayan terkejut dengan kondisi kamarku saat itu, so messy!. Walaupun dua orang pria yang ada di tempat tersebut menyambut ramah penghuni baru ruangan mereka, alias aku, aku sungguh ingin pindah kamar. Untungnya, mas Apid, teman barenganku mau aku minta untuk bertukar kamar. Oh, mas Apid sungguh baik sekali. Mungkin mas Apid masuk kategori Malaikat tak bersayap dalam hidupku. Aku bahagia banget bisa pindah ke kamarnya di tower sebelah, yang mana sebelahan dengan kamar mba Niken, teman barenganku juga dari Indonesia. Entah kenapa juga, sang resepsionis tidak memasangkanku dengan mba Niken, melainkan mba Niken dengan mas Apid.

Oke urusan pindah kamar selesai. Aku  mendapat kamar di lantai 26 kalau aku tidak salah ingat. Kamarnya sempit, typical apartment yang sebenarnya aku kurang begitu suka. Tapi, jendela kamar itu menghadap ke arah pantai yang jauh di ujung sana. Untungnya, tidak terlalu banyak gedung tinggi di kota ini, jadi pantai di sisi kota masih terlihat indah dari jendela kamarku yang ada di pusat kota. Aku membuka jendela, menikmati langit sore musim panas yang panjang. Begitu indah, ungu dan jingga jelas-jelas terlukis di ujung sana.



***