Dengan sangat
tergesa-gesa Kinan keluar dari kamarnya. Asal saja ia menyabet tas kerjanya
tanpa tahu apakah ada yang merubah content di dalamnya. Ia
sangat yakin tidak ada orang usil di ibu kota ini yang akan meletakkan kardus
obat atau lotion anti nyamuk ke dalam tasnya saat ia tidur
seperti yang biasa adik laki-lakinya sering lakukan. Lagi-lagi ia tak sempat
sarapan atau setidaknya menyapa auntynya yang pasti sedang sibuk
menyasak rambutnya di pagi hari. Untunglah kali ini Mang Bili cepat sekali
datangnya, di miscall sekali saja sudah meluncur di depan
gerbang rumahnya. Seandainya ada penghargaan tukang ojek teladan bulan ini.
Malaikat juga tahu…. Mang Bili yang jadi juaranya….juaranya….
Pukul tujuh kurang. Yak.
Harus pada pukul tujuh kurang Kinan melangkahkan kakinya dari rumah. Saat
matahari masih sedikit menghangat. Saat anak sekolah baru memulai jam pelajaran
pertama. Saat puskesmas mulai membuka loket pendaftarannya. Dan Saat tarif Transjakarta
masih dua ribu rupiah.
Selesai membayar karcis,
Kinan menyalakan ipodnya. Kinan menarik nafas lega,
transportasi andalan pertamanya di metropolitan ini cepat datangnya, secepat
transportasi andalan keduanya, ojeknya mang Bili. Kinan menarik nafas panjang,
saat pria itu duduk di sampingnya. Pria pukul tujuh tepat_Kinan menyebutnya.
Entah apa pekerjaannya, di mana rumahnya, berapa usianya dan apa makanan
kesukaannya, Kinan tak peduli. Karena dia-lah satu-satunya alasan Kinan menjadi
gadis pukul tujuh kurang seperapat_Mang Bili menyebutnya.
Sudah hampir dua bulan
Kinan selalu berjodoh satu Transjakarta dengan pria pukul tujuh itu. Kalau pun
tidak satu Transjakarta, satu shelter setidaknya. Pasti Kinan antre lebih dulu
lalu selang beberapa orang di belakangnya pasti pria pukul tujuh itu sedang
asik melipat karcis Transjakarta menjadi kapal-kapalan atau perahu-perahuan.
Laki-laki yang aneh, geming Kinan.
***
Kinanti pagi, nama yang
cantik. Aku melangkahkan kakiku ke luar rumah. Menunggu ojek andalan, Mang
Bili. Tidak perlu di sms atau di telpon, Mang Bili sudah hapal betul jam
keberangkatanku. Mang Bili-lah orang pertama yang kulihat dipagi hari dan yang
kedua, orang aneh itu. Ia duduk di sebelahku, dengan muka innocentnya yang
lucu. Pasti ia langsung memeriksa tasnya begitu dapat tempat duduk. Entah apa
yang ia cari. Mukanya sangat lucu, dari panik berubah menjadi sangat tenang
tanpa ekspresi saat mengetahui segala yang ada di dalam tasnya sesuai dengan
semestinya, lama-lama matanya terpejam dan tidur dengan lelapnya. Sungguh
manusia aneh, okey…tapi lucu.
***
Hubungan Kinan dengan
pria pukul tujuh itu sudah sedikit ada kemajuan. Mereka mulai ngobrol jika
bertemu di shelter Transjakarta. Kinan mulai tahu kalau pria itu lumayan jauh
kantornya. Kinan malah kadang sengaja menunggu sang pujaan hati jika ia datang
lebih dulu (dan selalu ia yang datang lebih dulu). Sekali pun Kinan pernah
kesiangan tetap saja pria itu selalu sampai belakangan. Sesiang apa pun Kinan,
pria itu datang lebih siang. Apa ini pertanda jodoh? Semoga *Kinan berdoa penuh
harap dalam hati*.
Aku mulai mengenal orang
aneh ini. Orang yang membuatku ketergantungan_secara tidak langsung. Dua
manusia yang kulihat, aku kenal, dan aku harapkan di pagi hari adalah dia dan
mang Bili. Entah sampai kapan ia tak mempedulikanku, aku akan tetap sangat
mempedulikan dia. Aku selalu mengalah untuknya. Aku siap kesiangan hanya untuk
memastikan ia berangkat ke kantor pagi ini. Dan sekarang aku mulai berbasa-basi
dengannya. Tapi belum sempat aku menanyakan alamat emailnya, nama lengkapnya,
apalagi nomor teleponnya, hari ini aku tidak bisa bertemu dengannya. Mungkin sampai
beberapa hari kedepan. Oh sedihnya.
Kinan sedih bukan
kepalang. Ia disms oleh mang Bili kalau hari ini mang Bili tidak bisa
mengantarnya karena kemarin ia kecelakaan. “neng saya ga bs antar kemarin sy
kecelakaan maaf ya neng ni nomer telepon mang herman kalo mau dijemput dia.”
Kinan mengerti maksud sms mag Bili yang tidak ada tanda bacanya itu. Ia
langsung meng-sms mang Herman untuk menjemputnya pagi ini. Tak lama mang Herman
meluncur untuk mengantarnya. Hati Kinan semakin sedih karena hari ini ia tidak
menemui pria pukul tujuh di shelter Transjakarta. Kinan menyalahkan mang Herman
karena kurang ngebut sehingga ia tidak sempat bertemu dengan pria pukul tujuh
itu.
Bukan hanya hari ini tapi
beberapa hari berikutnya pria pukul tujuh itu pun belum juga menampakkan batang
hidungnya. Kinan bermuram durja. Hari-harinya sepi tanpa dua pria yang selalu
menemaninya di pagi hari. Tiga hari ini mang Herman yang selalu mengantarnya
sampai shelter Transjakarta. “Kamu dimana….dengan siapa…sekarang berbuat apa….”
Mang herman lalu mengangkat handphonenya. Kinan mulai bete karena mang Herman
akan memperlambat kecepatannya karena ia megangkat telponnya. Ia masih berharap
hari ini ia akan bertemu lagi dengan pria pukul tujuh itu.
“Neng, mang Bili udah
sembuh. Besok udah bisa jemput enneng…”
“haaah…apaan mang?” Kinan
tidak mendengar apa yang mang Herman bilang. Ia paling tidak suka diajaka
bicara saat naik motor di jalan raya. Selain mesti teriak-teriak, ia mesti
nanya berulang-ulang apa yang dimaksud lawan bicaranya. Setelah diulang 3 kali,
Kinan baru mengerti kalau besok mang Bili sudah bisa menjalankan tupoksinya
karena sudah sembuh.
Kinan gembira karena hari
ini mang Bili sudah bisa mengantarnya lagi. Tapi ada lagi yang membuatnya lebih
gembira_euforia mungkin. Hari ini ia bertemu lagi dengan pria pukul tujuh itu.
Aku cukup senang walaupun
ia hanya bertanya beberapa patah kata. Aku sudah sering mendapatkan beberapa
informasi tentangnya dari orang terpercaya. Aku tahu di mana ia tinggal, tidak
begitu jauh dari rumahku. Ia tinggal di rumah familinya di sini.
***
“Neng, di sini nih waktu
itu mamang jatoh…” Mang Bili menjelaskan.
“Oh di sini mang, lagi
sendiri apa boncengan mang?”Kinan tidak perlu mengulangi pertanyaan Mang Bili
kali ini.
“Lagi boncengan, tapi
untung yang dibonceng juga nggak parah. Cuma lecet-lecet…”
“Iya mang? Terus orangnya
sekarang masih mau dianterin sama mamang?”
“Masih. Udah langganan
sama kaya neng Kinan ”
“Oh…”
“Bukannya kenal ya sama enneng?”
“Nggak, saya nggak punya temen di daerah sini mang. Cuma mamang
yang saya kenal… sama mang Herman paling.”
“Oh kirain kenal sama cowok itu…”
“Cowok yang mana mang?” Kinan turun dari motor karena sudah
sampai shelter Transjakarta.
“Yang selalu saya anter setelah nganter enneng…”
“Ya ampun mang, dompet saya ketinggalan. Tolong dong mang,
ambilin di rumah aunty. Saya tunggu di sini aja mang. Mang Bili mau ngambil
penumpang lagi kan?
“Iya neng, nanti saya ambilin. Neng tunggu di sini aja.” Mang
Bili ngacir dengan motornya.
Kinan duduk manis di pangkalan ojek. Menunggu mang Bili
datang membawakan dompetnya. Ia tidak menggunakan tas yang biasa ia gunakan.
Banyak barang yang tertinggal sebenarnya tapi yang paling urgent adalah
dompetnya itu.
Tidak lama kemudian mang
Bili datang. Kinan terbengong-bengong melihat siapa orang yang dibonceng mang
Bili. Yak… Pria pukul tujuh itu. Kinan geli sendiri. Akhirnya hari ini ia
menemukan jawabannya kenapa ia selalu bareng dengan pria itu.Kenapa pria itu
selalu datang setelah Kinan. Kenapa semakin siang Kinan berangkat semakin siang
pula pria itu datang. Dan jawabannya adalah karena ini pertanda jodoh? Semoga
*Kinan masih berdoa penuh harap dalam hati*.
Dasar ceroboh. Aku
melihat mukanya yang aneh itu berdiri tegak tanpa bergerak di hadapanku. Apa
yang ia pikirkan sebenarnya. Dasar perempuan aneh, okey tapi lucu. Karena harus
mengambil dompetnya di rumahnya perjalananku sedikit terganggu. Setidaknya
bertambah 5 menit dari biasanya. Tapi ya…aku jadi tahu di mana ia tinggal.
Perempuan yang membuatku ketergantungan ini ternyata tinggal dengan tantenya di
rumah bercat abu-abu itu.
“Ini neng dompetnya…oh
iya…ini nih yang tadi mamang bilang. Orang yang mamang anter setelah nganter
enneng. Mamang kira enneng kenal…”
Kinan kikuk.
“Ini kan kang yang kang
azid sering tanya-tanya ke mamang?bener kan orangnya?” tanpa merasa berdosa
mang Bili bertanya ke pria itu. Pipi Kinan memerah semerah pipi pria pukul
tujuh itu. Kinan GR dahsyat, sedahsyat senyuman pria pukul tujuh itu untuknya.
Belum sempat Mang Bili
mendengar jawaban dari pria pukul tujuh itu ada penumpang yang minta diantar
dengan ojeknya. Mang Bili meninggalkan dua sejoli itu yang sedang salah tingkah
itu. Pria pukul tujuh dan wanita pukul tujuh kurang seperapat, executive member
Mang Bili fans club.
ashrynovia, januari 2010
ashrynovia, januari 2010
cerpennya keren nengs.. yg di bagian endingnya lucu.. hahaha..
BalasHapusayo2 tingkatkan lagi semangat menulismuuuu.. :D (gym)
tengs nan (girlkiss).. iya nih baru mau mulai nulis2 gitu :D (gym)
BalasHapus