Pages

01/07/10

Kinanti pagi : sebuah cerita pendek


Dengan sangat tergesa-gesa Kinan keluar dari kamarnya. Asal saja ia menyabet tas kerjanya tanpa tahu apakah ada yang merubah content di dalamnya. Ia sangat yakin tidak ada orang usil di ibu kota ini yang akan meletakkan kardus obat atau lotion anti nyamuk ke dalam tasnya saat ia tidur seperti yang biasa adik laki-lakinya sering lakukan. Lagi-lagi ia tak sempat sarapan atau setidaknya menyapa auntynya yang pasti sedang sibuk menyasak rambutnya di pagi hari. Untunglah kali ini Mang Bili cepat sekali datangnya, di miscall sekali saja sudah meluncur di depan gerbang rumahnya. Seandainya ada penghargaan tukang ojek teladan bulan ini. Malaikat juga tahu…. Mang Bili yang jadi juaranya….juaranya….

Pukul tujuh kurang. Yak. Harus pada pukul tujuh kurang Kinan melangkahkan kakinya dari rumah. Saat matahari masih sedikit menghangat. Saat anak sekolah baru memulai jam pelajaran pertama. Saat puskesmas mulai membuka loket pendaftarannya. Dan Saat tarif Transjakarta masih dua ribu rupiah.
Selesai membayar karcis, Kinan menyalakan ipodnya.  Kinan menarik nafas lega, transportasi andalan pertamanya di metropolitan ini cepat datangnya, secepat transportasi andalan keduanya, ojeknya mang Bili. Kinan menarik nafas panjang, saat pria itu duduk di sampingnya. Pria pukul tujuh tepat_Kinan menyebutnya. Entah apa pekerjaannya, di mana rumahnya, berapa usianya dan apa makanan kesukaannya, Kinan tak peduli. Karena dia-lah satu-satunya alasan Kinan menjadi gadis pukul tujuh kurang seperapat_Mang Bili menyebutnya.

Sudah hampir dua bulan Kinan selalu berjodoh satu Transjakarta dengan pria pukul tujuh itu. Kalau pun tidak satu Transjakarta, satu shelter setidaknya. Pasti Kinan antre lebih dulu lalu selang beberapa orang di belakangnya pasti pria pukul tujuh itu sedang asik melipat karcis Transjakarta menjadi kapal-kapalan atau perahu-perahuan. Laki-laki yang aneh, geming Kinan.
                                                                                                ***
Kinanti pagi, nama yang cantik. Aku melangkahkan kakiku ke luar rumah. Menunggu ojek andalan, Mang Bili. Tidak perlu di sms atau di telpon, Mang Bili sudah hapal betul jam keberangkatanku. Mang Bili-lah orang pertama yang kulihat dipagi hari dan yang kedua, orang aneh itu. Ia duduk di sebelahku, dengan muka innocentnya yang lucu. Pasti ia langsung memeriksa tasnya begitu dapat tempat duduk. Entah apa yang ia cari. Mukanya sangat lucu, dari panik berubah menjadi sangat tenang tanpa ekspresi saat mengetahui segala yang ada di dalam tasnya sesuai dengan semestinya, lama-lama matanya terpejam dan tidur dengan lelapnya. Sungguh manusia aneh, okey…tapi lucu.
                                                                                ***
Hubungan Kinan dengan pria pukul tujuh itu sudah sedikit ada kemajuan. Mereka mulai ngobrol jika bertemu di shelter Transjakarta. Kinan mulai tahu kalau pria itu lumayan jauh kantornya. Kinan malah kadang sengaja menunggu sang pujaan hati jika ia datang lebih dulu (dan selalu ia yang datang lebih dulu). Sekali pun Kinan pernah kesiangan tetap saja pria itu selalu sampai belakangan. Sesiang apa pun Kinan, pria itu datang lebih siang. Apa ini pertanda jodoh? Semoga *Kinan berdoa penuh harap dalam hati*.

Aku mulai mengenal orang aneh ini. Orang yang membuatku ketergantungan_secara tidak langsung. Dua manusia yang kulihat, aku kenal, dan aku harapkan di pagi hari adalah dia dan mang Bili. Entah sampai kapan ia tak mempedulikanku, aku akan tetap sangat mempedulikan dia. Aku selalu mengalah untuknya. Aku siap kesiangan hanya untuk memastikan ia berangkat ke kantor pagi ini. Dan sekarang aku mulai berbasa-basi dengannya. Tapi belum sempat aku menanyakan alamat emailnya, nama lengkapnya, apalagi nomor teleponnya, hari ini aku tidak bisa bertemu dengannya. Mungkin sampai beberapa hari kedepan. Oh sedihnya.

Kinan sedih bukan kepalang. Ia disms oleh mang Bili kalau hari ini mang Bili tidak bisa mengantarnya karena kemarin ia kecelakaan. “neng saya ga bs antar kemarin sy kecelakaan maaf ya neng ni nomer telepon mang herman kalo mau dijemput dia.” Kinan mengerti maksud sms mag Bili yang tidak ada tanda bacanya itu. Ia langsung meng-sms mang Herman untuk menjemputnya pagi ini. Tak lama mang Herman meluncur untuk mengantarnya. Hati Kinan semakin sedih karena hari ini ia tidak menemui pria pukul tujuh di shelter Transjakarta. Kinan menyalahkan mang Herman karena kurang ngebut sehingga ia tidak sempat bertemu dengan pria pukul tujuh itu.

Bukan hanya hari ini tapi beberapa hari berikutnya pria pukul tujuh itu pun belum juga menampakkan batang hidungnya. Kinan bermuram durja. Hari-harinya sepi tanpa dua pria yang selalu menemaninya di pagi hari. Tiga hari ini mang Herman yang selalu mengantarnya sampai shelter Transjakarta. “Kamu dimana….dengan siapa…sekarang berbuat apa….” Mang herman lalu mengangkat handphonenya. Kinan mulai bete karena mang Herman akan memperlambat kecepatannya karena ia megangkat telponnya. Ia masih berharap hari ini ia akan bertemu lagi dengan pria pukul tujuh itu.
“Neng, mang Bili udah sembuh. Besok udah bisa jemput enneng…”
“haaah…apaan mang?” Kinan tidak mendengar apa yang mang Herman bilang. Ia paling tidak suka diajaka bicara saat naik motor di jalan raya. Selain mesti teriak-teriak, ia mesti nanya berulang-ulang apa yang dimaksud lawan bicaranya. Setelah diulang 3 kali, Kinan baru mengerti kalau besok mang Bili sudah bisa menjalankan tupoksinya karena sudah sembuh.
Kinan gembira karena hari ini mang Bili sudah bisa mengantarnya lagi. Tapi ada lagi yang membuatnya lebih gembira_euforia mungkin. Hari ini ia bertemu lagi dengan pria pukul tujuh itu.
Aku cukup senang walaupun ia hanya bertanya beberapa patah kata. Aku sudah sering mendapatkan beberapa informasi tentangnya dari orang terpercaya. Aku tahu di mana ia tinggal, tidak begitu jauh dari rumahku. Ia tinggal di rumah familinya di sini.
***
“Neng, di sini nih waktu itu mamang jatoh…” Mang Bili menjelaskan.
“Oh di sini mang, lagi sendiri apa boncengan mang?”Kinan tidak perlu mengulangi pertanyaan Mang Bili kali ini.
“Lagi boncengan, tapi untung yang dibonceng juga nggak parah. Cuma lecet-lecet…”
“Iya mang? Terus orangnya sekarang masih mau dianterin sama mamang?”
“Masih. Udah langganan sama kaya neng Kinan ”
“Oh…”
“Bukannya kenal ya sama enneng?”
“Nggak, saya nggak punya temen di daerah sini mang. Cuma mamang yang saya kenal… sama mang Herman paling.”
“Oh kirain kenal sama cowok itu…”
“Cowok yang mana mang?” Kinan turun dari motor karena sudah sampai shelter Transjakarta.
“Yang selalu saya anter setelah nganter enneng…”
“Ya ampun mang, dompet saya ketinggalan. Tolong dong mang, ambilin di rumah aunty. Saya tunggu di sini aja mang. Mang Bili mau ngambil penumpang lagi kan?
“Iya neng, nanti saya ambilin. Neng tunggu di sini aja.” Mang Bili ngacir dengan motornya.
 Kinan duduk manis di pangkalan ojek. Menunggu mang Bili datang membawakan dompetnya. Ia tidak menggunakan tas yang biasa ia gunakan. Banyak barang yang tertinggal sebenarnya tapi yang paling urgent adalah dompetnya itu.

Tidak lama kemudian mang Bili datang. Kinan terbengong-bengong melihat siapa orang yang dibonceng mang Bili. Yak… Pria pukul tujuh itu. Kinan geli sendiri. Akhirnya hari ini ia menemukan jawabannya kenapa ia selalu bareng dengan pria itu.Kenapa pria itu selalu datang setelah Kinan. Kenapa semakin siang Kinan berangkat semakin siang pula pria itu datang. Dan jawabannya adalah karena ini pertanda jodoh? Semoga *Kinan masih berdoa penuh harap dalam hati*.

Dasar ceroboh. Aku melihat mukanya yang aneh itu berdiri tegak tanpa bergerak di hadapanku. Apa yang ia pikirkan sebenarnya. Dasar perempuan aneh, okey tapi lucu. Karena harus mengambil dompetnya di rumahnya perjalananku sedikit terganggu. Setidaknya bertambah 5 menit dari biasanya. Tapi ya…aku jadi tahu di mana ia tinggal. Perempuan yang membuatku ketergantungan ini ternyata tinggal dengan tantenya di rumah bercat abu-abu itu.
“Ini neng dompetnya…oh iya…ini nih yang tadi mamang bilang. Orang yang mamang anter setelah nganter enneng. Mamang kira enneng kenal…”
Kinan kikuk.
“Ini kan kang yang kang azid sering tanya-tanya ke mamang?bener kan orangnya?” tanpa merasa berdosa mang Bili bertanya ke pria itu. Pipi Kinan memerah semerah pipi pria pukul tujuh itu. Kinan GR dahsyat, sedahsyat senyuman pria pukul tujuh itu untuknya.
Belum sempat Mang Bili mendengar jawaban dari pria pukul tujuh itu ada penumpang yang minta diantar dengan ojeknya. Mang Bili meninggalkan dua sejoli itu yang sedang salah tingkah itu. Pria pukul tujuh dan wanita pukul tujuh kurang seperapat, executive member Mang Bili fans club.

ashrynovia, januari 2010

2 komentar:

  1. cerpennya keren nengs.. yg di bagian endingnya lucu.. hahaha..

    ayo2 tingkatkan lagi semangat menulismuuuu.. :D (gym)

    BalasHapus
  2. tengs nan (girlkiss).. iya nih baru mau mulai nulis2 gitu :D (gym)

    BalasHapus